5 Lewat 30

Cenderung Selo

Pagi ini saya bangun agak siang. Pagi yang saya kira ketika melek sudah mendahului kicauan burung gereja. Belum terlihat di balik jendela padangnya pagi yang datangnya selalu tepat waktu seperti biasanya. Saya tersadar setelah melihat jam tangan yang tergeletak di meja di samping tempat tidur. Jam 5 lewat 30. Segera saya buka jendela melihat langit dan ternyata cuaca lagi mendung. Saya hanya bisa bergumam dalam hati “ealah..isuk-isuk kok wis mendung..” Tapi untunglah saya ndak lupa kalau hari ini hari Minggu.

Di ruang tengah terdengar suara TV dengan volume tinggi yang kedengarannya seperti acara kartun. Siapa lagi, itu pasti adik. Bergegas saya ambil air wudlu karena sadar saya lagi dikejar batas waktu sholat subuh. Karena letak kamar mandi rumah saya yang mesti melewati dapur dulu untuk menujunya, jadilah saya ketahuan sama siapa lagi yang pagi-pagi sudah di dapur kalau bukan Ibuk.

“Wis mateng, Buk?” sapa saya yang lebih dulu untuk menghindari unen-unene.

“Hambok kono kamare dirijiki disik kono!” jawab Ibuk yang sudah tau kalo saya mbangkong.

“Ngono kui po yo wis subuhan barang?” tambah Ibuk dengan nada agak ditinggikan dari sebelumnya.

Dengar balasan ibu yang lebih banyak dari sapaan saya, lantas saya mak plencing saja ke kamar madi tanpa menjawabnya dulu. Saya kira dengan disapa lebih dulu akan merubah suasana. Tapi ternyata jurus saya ndak mempan. Malah semakin menunjukkan kalau saya melakukan blunder. Ealah.

Lha Bapak mana?

Saat saya kembali dari kamar mandi saya melihat bapak lagi nulis ndak tau apa di secarik kertas di ruang tamu. Entah lagi ngapain, keliahatan betul kalau lagi sibuk. Sengaja saya ndak menanyainya. Nanti tambah lagi unen-unene. Lagian juga waktu sholat shubuh sudah hampir habis.

Memang di keluarga saya disiplin waktu merupakan harga mati. Lebih-lebih soal sholat 5 waktu. Sedari kecil, saya, adik saya, sama mbak yang sekarang sudah rabi selalu dibiasakan sholat berjamah yang diimami bapak. Ya meskipun hanya sholat maghrib sama isya’ saja yang berjamaah, namun tetap harus dibiasakan. Saya paham hal semacam itu baik maksudnya. Kalau ada orang tua mengajarkan seperti itu kepada anak-anaknya tak lain dan tak bukan hanya untuk kebaikan anak-anak mereka kedepannya. Pun dengan bapak dan ibuk saya. 😦 (mbrebes mili). Justru hal-hal semacam itu yang seharusnya membuat saya bersyukur. Karena suasana seperti itulah yang akan sulit ditemui di manapun ketika sedang jauh dari rumah. Mungkin saat nanti saya jauh dari rumah, suasana seperti itulah yang membuat saya pengen pulang ke rumah. Terutama sama unen-unene ibuk.

Setelah selesai sholat subuh saya segera mengerjakan apa yang diperintahkan Ibuk beberapa saat lalu. Tapi, sebelumnya saya sambangi laptop dulu (yang ini jangan ditiru hehe). Semoga saja ibuk ndak tau saya nulis cerita ini. 😀

*Tak lupa syukur dan doa di pagi ini saya ucapkan kepada Yang Maha Melindungi dan Maha Pemberi Nikmat.